Laman

Jumat, 22 Oktober 2010

3000an Orang Bersatu Menolak Terorisme di Konser Metal Untuk Semua


“Tadi sempat hujan deras, tapi sekarang sudah berhenti. Ini adalah bukti bahwa Tuhan memberkati musik setan,” kata Daniel vokalis Deadsquad dengan lantang dan jelas. Ucapan itu kemudian diamini para metalheads dengan mengangkat tangan mereka yang membentuk devil horns tinggi-tinggi ke udara.

Tentu saja ribuan manusia yang Minggu (17/10) sore itu berada di Bulungan Outdoor tidak sedang melakukan prosesi pemujaan setan ataupun upacara penyembahan berhala. Melainkan, sebuah konser musik metal sedang berlangsung di sana.

Deadsquad adalah band terakhir yang tampil sebelum break Maghrib. Minus pemain gitar Choky, Deadsquad menggempur telinga metalheads dengan komposisi-komposisi padat namun estetis mereka dari album Horror Vision (2009).

Setelah menuntaskan lagu ketiga, “Hiperbola Dogma Monoteis”, pemain bass Boni yang memiliki gaya khas mencabik-cabik 4-strings dengan rokok tersemat di bibir itu mengajak penonton berinteraksi. “Coba gue mau lihat tangannya dong,” pintanya kepada para penonton. Sontak ribuan devil horns kembali terlihat lagi di udara.

Tampak puas, Boni kemudian melanjutkan, “Ada yang bilang ini adalah simbol Zionis. Salah berat. Mereka nggak tahu kalau ini dipopulerkan oleh Ronnie James Dio? Bertahun-tahun main musik metal nggak kenal siapa Dio?”

Seperti yang tertulis dalam keterangan di situs jejaring sosial, konser yang diselenggarakan kolektif Bandar Metal yang diberi tajuk Metal Untuk Semua itu, “Bertujuan mengkampanyekan perdamaian, menghargai perbedaan dan menjunjung toleransi antar umat beragama yang belakangan mulai terganggu dengan aksi-aksi kekerasan/teror berkedok agama.” Menengok pada konteksnya sebagai kampanye, maka wajar rasanya bila hari itu para musisi yang tampil terlihat berapi-api dalam menyuarakan aspirasi mereka masing-masing dari atas panggung.

Seluruh band yang tampil di acara tanpa sponsor ini tidak ada satu pun yang dibayar, mereka secara sukarela ikut serta di acara ini untuk ikut mengkampanyekan perlawanan terhadap terorisme dan menghargai perbedaan. Sementara keuntungan yang di dapat dari acara ini nantinya akan dibagi secara rata bagi seluruh band yang tampil.

Soal devil horns atau metal horns, yang sempat jadi polemik di kalangan metalheads Jakarta, hari itu tampaknya menjadi isu seksi yang terus menerus disinggung para musisi yang naik ke atas panggung. Tema acara: “Konser Pro-Pluralisme & Anti-Terorisme” juga sepertinya sengaja dirancang untuk merespon propaganda yang coba menggiring subkultur metal menjadi eksklusif hanya bagi satu golongan atau agama tertentu saja.
Secara tersirat, tema ini tampaknya telah dipahami dengan baik oleh semua yang hadir, “Pro-Prularisme” menjadi pesan: Musik heavy metal dan subgenrenya adalah untuk semua yang hadir, yang tidak perlu dipolitisir dengan ajaran-ajaran agama tertentu sehingga berpotensi menyulut perpecahan komunitas di dalam subkultur yang telah sejak puluhan tahun lamanya hidup dalam aneka perbedaan agama, suku, ras, status sosial, dan sebagainya.

Tema “Anti-Terorisme” adalah untuk meng-counter upaya infiltrasi doktrin teror dengan kekerasan yang berkedok agama kepada segenap metalheads muda yang mayoritas mudah dipengaruhi. Fakta membuktikan bahwa beberapa dari ”pengantin” (pelaku terorisme) di Indonesia adalah kalangan ABG. Ada indikasi kuat pula bahwa kini para teroris berkedok agama coba menggunakan medium musik metal sebagai salah satu proses rekrutmen ”pengantin.”

Sebelum Deadsquad, Panic Disorder memborbardir para pecandu distorsi dari atas panggung dengan nomor-nomor beringas mereka. Bak hewan buas yang berada di dalam kerangkeng, para metalhead di barisan terdepan ber-headbanging sembari mengguncang-guncangkan pagar barikade yang membatasi mereka dengan panggung.

Seorang remaja puteri yang baju dan rambutnya tampak basah karena siraman hujan beberapa waktu sebelumnya memilih untuk melakukan sesuatu yang lebih liar lagi: Berdiri di atas pagar barikade, dan mengguncang-guncangkan kepalanya di sana selama beberapa saat. Panic Disorder menyudahi kegilaan itu dengan lagu terakhir, “Doktrin Penghancur”.

Hujan gerimis masih turun tatkala band sebelum Panic Disorder tampil, Seringai. Tapi para metalheads tak gentar oleh butir-butir air yang terus berjatuhan di atas kepala mereka. Sebaliknya mereka terlihat lebih berapi-api saat mengepalkan tangan ke udara sembari berteriak bersama-sama, “Individu / Individu Merdeka!!!”

Seakan menolak tunduk pada dogma apapun yang selalu mencoba mengontrol pikiran mereka. Melihat pemandangan ini mengingatkan pada salah satu bagian penting signature Roger Waters eks-Pink Floyd, “The Wall”: “We don’t need no education / We don’t need no thought control…”

Vokalis Arian13 seakan menemukan ruang untuk menyampaikan pandangan-pandangan politisnya secara leluasa di sini. Mereka yang sepekan sebelumnya sempat menyaksikan penampilan Seringai di Pantai Karnaval, Ancol, pasti menyadari bahwa set list Seringai sore itu tidak jauh berbeda. Dan masih sama pula seperti pekan sebelumnya, orasi Arian sore itu juga berisi seputar kritiknya pada aparat kepolisian Bandung yang susah memberikan ijin untuk mengadakan acara musik dan juga mengkritisi kebijakan sensor internet oleh Menkominfo Tifatul Sembiring.

“Dia pernah mengatakan bahwa bencana alam yang terjadi di Indonesia itu karena perbuatan tidak bermoral. Sehingga dia merasa perlu untuk memblokir situs porno,” kata Arian. “Itu sih karena letak geografis Indonesia saja yang berada di daerah rawan gempa.”

Selain nomor-nomor lama, Seringai membawakan dua lagu baru lainnya yaitu: “Dilarang di Bandung” dan “Program Party Seringai”. Dan hujan pun mulai reda.

Sebelumnya tampil cadas pula band old school death metal Jakarta, Ritual Doom yang masih digawangi oleh gitaris perempuan Vivi dan kini bersama vokalis Arry Fajar (eks-Purgatory). Band brutal death metal Funeral Inception membuka konser sore hari itu dengan meng-cover nomor milik Nile yang berjudul ”Kafir.” Doni Iblis, vokalis sekaligus show director Metal Untuk Semua termasuk salah satu yang berorasi cukup keras sore itu.

Metal is about fun! Metal tidak ngajari kita untuk ngebom, tidak ngajari kita untuk membenci atau anti terhadap agama lain, it’s about fun!” Tak lama setelah ia berorasi mendadak hujan pun turun cukup deras.

Band grindcore yang sangat plural komposisi personelnya, Noxa, tampil cukup pagi di acara tersebut. Karena beberapa orang personel mereka harus bekerja di hari Minggu. Walau tampil pagi bukan berarti para penggemar tidak ada, venue yang awalnya masih sepi mendadak ramai begitu Noxa mengentak dengan nomor-nomor brutal cepat dan pendek mereka.

Pluralisme memang bukanlah sesuatu yang aneh di dalam Noxa. Tak ada personelnya yang bersuku dan beragama sama di dalamnya. Vokalis Tonny beragama Kristen dan bersuku Batak, gitaris Ade adalah Muslim dan bersuku Jawa, bassist Nyoman adalah Hindu dan berasal dari Bali sementara drummer baru mereka, Alvin beragama Katolik dan berasal dari Jakarta. Semuanya berjalan dengan baik di dalam band ini tanpa menghiraukan apapun latar belakang mereka masing-masing. 

Beberapa yang tampil kemudian di Metal Untuk Semua di antaranya adalah band metalcore Straightout, gothic power metal Gelap, death thrash metal Death Valley, veteran death metal Trauma, Sabor hingga Death's Gray. Semuanya sama-sama meneriakkan perlawanan terhadap terorisme dan pesan-pesan toleransi antar umat beragama.

Jumlah penonton tidak berkurang secara signifikan ketika band thrash Oracle tampil membuka sesi kedua setelah break maghrib. Vokalis Troy Adam dengan rendah hati berterima kasih karena bandnya telah diundang di acara ini. Kemudian mereka kembali memanaskan amplifier dengan lima lagu, yang tiga di antaranya merupakan lagu dari album mereka No Truth, No Justice (2010): “Blessed in Funeral”, “K.P.K” dan “Calo Bangsat (Airlines).”

Dreamer juga menjadi band yang ditunggu-tunggu penonton malam itu. Vokalis perempuan Rika Ariga yang malam itu tampil cantik dan lebih leluasa untuk ber-headbanging setelah melahirkan, berhasil menjadi faktor penarik penonton untuk merapat ke depan panggung. Mereka membawakan dua lagu sendiri “Bait Suci” dan “Seroja 1975”, sebelum mengundang vokalis heavy metal legendaris Arul Efansyah untuk naik ke atas panggung.

“Selamat malam, Rakyat Metal!” teriak vokalis band Power Metal itu dengan suara melengkingnya yang khas. Kemudian bersama Arul, Dreamer membawakan dua lagu Power Metal, “Angkara” dan “Timur Tragedi”. Untuk beberapa saat venue jadi terasa berada di tengah pusaran puting beliung akibat pertemuan energi dari panggung dan penonton yang sama besarnya.

Tak lama berselang setelah penampilan Dreamer usai, band death metal Jakarta Timur, Siksakubur, kembali membuat ribuan orang yang masih bertahan di sana menjadi kehilangan kendali. Instrumental “Darah Terpilih” yang angker itu terdengar ketika pemain gitar Andre Tiranda, pemain bass Ewin, pemain gitar Nyoman dan pemain drum Prama sudah siap di atas panggung.
Ketika intro lagu “Anak Lelaki dan Serigala” yang menghentak terdengar, dan vokalis Japs muncul, metalheads pun langsung mengangkat devil horns mereka tinggi-tinggi sekali lagi. Dan Siksakubur pun tak segan menggempur mereka dengan lagu dari album terakhir mereka itu, Tentara Merah Darah (2010).

“Coba gue mau lihat tangan kalian semua. Gue mau melihat apakah jari kalian masih baik-baik saja,” kata pemain gitar Andre Tiranda kepada penonton setelah memainkan lagu kedua, “Menanduk Melawan Tunduk”. Dan tanduk-tanduk setan itu pun terlihat kembali.

“Ternyata jari kita masih baik-baik saja, ya,” kata Andre kemudian sedikit tertawa. Siksakubur pun melanjutkan dengan “Destitusi Menuju Mati” dari album Eye Cry (2003), serta dua lagu lagi dari album terakhir mereka “Dewa yang Terluka” dan “Memoar Sang Pengobar”.

Sebagai penutup acara, Bandar Metal mendaulat band thrash metal legendaris Roxx sebagai pemungkas acara. Roxx barangkali satu-satunya band yang paling santai malam itu. Meski di belakang panggung terpampang spanduk acara berukuran besar, lengkap dengan nama acara dan temanya, gitaris Jaya berkata pada satu jeda, “Prularisme! Apaan tuh? Gue nggak ngerti. Yang gue ngerti cuma kemaluan!” Para penonton pun spontan terbahak-bahak mendengar guyonan Jaya.

Namun, penonton tampaknya telah mahfum dengan karakter gitaris berambut keriwil yang senang bersenda gurau itu. Sehingga ucapan tersebut tidak menjadi sesuatu yang dianggap kontra terhadap tema acara. Roxx membawakan tujuh lagu malam itu, di antaranya “Price,” “Rock Bergema,” serta “Heroin”—yang mereka tulis untuk mantan pemain drum almarhum Arry Yanuar. Sebagai penutup, tak lupa Roxx membawakan satu nomor milik Metallica, “Seek & Destroy,” yang mungkin sengaja dipilih untuk menyatukan semangat melawan terorisme.

Legenda thrash metal Indonesia Roxx, vokalis legendaris heavy metal/power metal Arul Efansyah, serta band-band metal besar lainnya telah tampil menyuarakan dukungan terhadap kemajemukan—atau yang biasa kita sebut dengan Bhineka Tunggal Ika. Maka masih perlukah kita membangun eksklusivitas golongan? Jelas tidak!

Sumber : Berontakzine.com

Jumat, 15 Oktober 2010

METAL HARE GENE


METAL HARE GENE…
(diambil dari Crushing Magz edisi # 2 November 2006)

Gemuruh metalcore di scene cadas tanah air mulai menggelegar sejak pertengahan 2002 dengan beredarnya album-album band metalcore manca negara, secara resmi maupun tidak resmi, yang menginspirasi banyak metal heads dan HC kids domestik untuk membentuk band dengan mengusung style hardcore yang metallic. Setelah Straightout, Passenger, Revitol, Formyblood, muncul barisan metalcore militia seperti Suffer Edge, Suja, Bestiality, Hard To Kill, Heaven’s Fire, Instalasi Mati, Ablazed Reflection, Down For Life, Screaming Factor, dll. Disusul awal 2005 dengan nama-nama seperti Dead Maya, March, Soulare, Injustice, Fading Beauty, The Bones, dll. “Hype” metalcore berjalan hampir seiring dengan emo yang sudah hype di atas permukaan blantika musik dunia. Tidak seperti emo, metalcore cenderung tetap berada di underground. Namun emo dinilai sebagai musik yang menjembatani para emo kids (fans musik emo yang mayoritas remaja belia) kepada metalcore dan metal ekstrem lainnya. Karena emo, yang merupakan istilah populis yang dipakai untuk post-pop/punk rock yang emosional ini, juga memiliki sub-subgenre cadas, let’s say; emo hardcore, emo metalcore, blablabla. Dari yang cuma doyan emo manis macam Dashboard Confessional, hingga yang distortif seperti Thursday, My Chemical Romance, kemudian yang screamo (screaming emo –ed) dan metal seperti Alexisonfire, Eighteen Visions, Atreyu, dan akhirnya berlabuh di metalcore seperti Killswitch Engage, As I Lay Dying, Still Remains, The Agony Scene, dan pendengaran mereka terus berlanjut ke band-band seperti The Black Dahlia Murder, Lamb Of God, Trivium, Slayer dan ribuan lainnya. Rasa ingin tahu yang besar dan ingin selalu tampil beda memang dimiliki oleh hampir setiap remaja yang sedang mencari jati diri. Hal inilah yang menyebabkan secara perlahan tapi pasti musik metal mulai diterima secara lebih luas di luar scene-nya seperti dalam pensi-pensi dan klab-klab hiburan malam. Bahkan tidak sedikit band-band “metal generasi baru” yang diakui sebagai band spesialis pensi. Juga, jadi banyak cewek manis dan imut dari kalangan siswi SMU yang menyukai musik metal. Metal memang bukan “Man’s World” semata. Sudah bukan hal yang langka, cewek memakai t-shirt atau tank top berwarna hitam bergambar band metal idolanya berseliweran menghadiri gigs yang menampilkan band metal. Entah sekadar ikut-ikutan atau memang benar-benar suka. Yang jelas, “metal hari ini” mampu menaklukkan hati penikmat musik muda lebih banyak.
Namun hal tersebut melahirkan dualisme di tubuh metal lokal. Yang satu kubu metal underground lawas yang fans metal tradisional, satu lagi kubu metal modern yang mulai tergila-gila metal setelah melihat penampilan band-band metal di pensi atau di event lainnya yang mayoritas cenderung “kekini-kinian”. Perpecahan metal menjadi dua kubu memang perlu dibenahi. Pro dan kontra terhadap sesuatu yang baru itu wajar saja sih, asal tidak sampai gontok-gontokan. Lo suka lo ambil, lo nggak suka lo buang. Tapi perlukah sekat di antara kedua kubu ini diangkat untuk bisa menyatukannya? Kalo tujuannya ingin lebih kuat ya bersatulah. Jika sekarang jadi banyak “anak metal dadakan” atau bahkan trendy dan salah kaprah (asal ikut-ikutan saja), jangan lah kita cemooh, melainkan kita didik. Bukankah setiap band atau gig membutuhkan supportive appreciation mereka? Secara nih, man, secara mereka membeli kaset/CD album dan merchandise band serta membeli tiket masuk gigs lokal.
But however, menjadi legions of “true” metal kids itu jauh lebih terhormat ketimbang sekedar menjadi penggembira heboh sesaat alias posers! Inga-inga, informasi adalah tulang punggung dari setiap kemajuan. Let’s fight the ignorance!

METAL REVIVAL VS. TREND

Yang pasti, kondisi metal sekarang mengindikasikan kebangkitannya secara signifikan bahwa akan bisa terulang masa keemasan heavy metal yang pernah melanda negeri ini di dekade 80-an dan 90-an awal. Masih ingat fenomena “hair band” yang berpenampilan glamour atau biasa disebut glam metal? Motley Crue, Skid Row, Poison, Warrant, Twisted Sister, Guns N’ Roses, dll. Serta thrash metal yang tidak kalah jaya dengan outfit yang berlawanan dengan glam metal namun musiknya sangar; Metallica, Megadeth, Anthrax, Testament, Slayer, dll.
Tapi sebenarnya musik metal tidak pernah mati meskipun mahkotanya sempat direnggut oleh wabah musik grunge a.k.a. alternative rock (Nirvana, Pearl Jam, dll) di awal 90-an, ditambah lagi dengan tragedi kerusuhan konser Metallica di Stadion Lebak Bulus, Jakarta, 1993 silam yang melengkapi kejatuhan tahta metal. Promotor event musik, sponsor, otoritas perizinan, dll, semuanya serentak “ill-feel” dengan metal. Metal di-blacklist. Menurut kacamata mainstream, metal is dead!
Oh yeah?! Of course not. “Metal’s Not Dead” dibuktikan melalui kontinuitas pagelaran metal di berbagai tempat dan hampir di setiap penjuru kota. Serta terjadinya regenerasi band metal dalam negeri yang potensial, selama hampir dua dekade telah memperlihatkan perkembangan yang cukup pesat. Dari mulai eranya Sucker Head, Rotor, Roxx, Grausig, Purgatory, Jasad hingga ke Burgerkill, Forgotten, Tengkorak, Death Vomit, Siksakubur, dll, semuanya berusaha keras mencoba mencari terobosan untuk terus eksis. Hal ini justru semakin meyakinkan kita bahwa musik metal akan terus hidup sampai kapan pun, mau jadi mainstream kek atau cuma terselubung alias underground saja kek, it’s no big deal. Bagi yang cuma mengikuti trend tidak akan bisa merasakan suka dukanya memperjuangkan eksistensi dan progresi scene metal. Yeah right, metal memang sedang nge-trend di era jaya tersebut. As you know, trend itu bersifat temporer, tahun ini in, tahun depan bisa saja out. Yang namanya trend pasti akan punah, cepat atau lambat. Pengalaman sudah membuktikan secara gamblang, setelah metal, ada grunge, kemudian ska, berikutnya hip metal dan nu-metal, terus emo, now what? Metal lagi-kah? Mmm… mungkin tahun berikutnya giliran trend dangdut metal…hehehe, gubrak!
Okay, siapa sih yang tidak ingin musik metal diperhitungkan secara layak dan berdiri sejajar dengan genre musik lain di Indonesia? Bukankah asik, di setiap toko kaset akan menyediakan album-album metal apa saja yang lo cari. Serta semakin banyak promotor musik yang menggelar event metal secara masif karena pihak sponsor sudah percaya bahwa metal sudah mulai bisa “menjual”. Radio, TV dan media cetak jadi sering memberikan “coverage” untuk metal. Kemudian juga banyak band metal yang dikontrak oleh major label dan akan meraih penghargaan platinum setelah berhasil menjual ratusan ribu kopi seperti yang pernah dialami oleh Sepultura via album “Arise” (1991, Roadrunner/Indo Semar Sakti). Ya, inilah tujuan dari perjuangan dan impian setiap anak metal di Indonesia. Karena selama ini keadaan scene metal masih kebalikan dari keadaan angan-angan tersebut sejak keruntuhan rezim “80’s trendy metal” (hehehe –ed), meskipun perkembangan sekarang sudah memancarkan sedikit cahaya terang.
Teteup, jika impian tersebut menjadi kenyataan pun, masih akan meninggalkan pertanyaan besar, yaitu: akankah keadaan ini cuma sementara saja? Jika ya, sakit hati dan dongkol-lah yang akan kita dapat pada akhirnya jika kita harus kembali ke seperti trend metal 80-an yang cuma “numpang lewat dan ngetop” itu. Inilah momok serius yang bakal dihadapi oleh pergerakan metal. Suatu iklim pembodohan di dalam industri musik Indonesia yang kebanyakan cuma mencari “aman” dengan mengikuti arus utama pasar. Peluang profit besar mungkin memang menjanjikan tapi sayangnya masyarakat tidak pernah diajarkan untuk menjadi cerdas. Musik dan fashion keren adalah keren menurut mereka melalui agitasi propaganda media mainstream. Ada udang di balik bakwan karbonisasi ini.
Ketika trend metal sudah berakhir, metal sudah tidak keren lagi alias ketinggalan zaman. Kreatifitas sebagian musisi metal kembali terpasung, tidak sedikit yang berubah menjadi kompromis dengan trend dan bahkan sampai ‘melacur’ karena ngoyo ingin cepat ngentot…eh…ngetop. Idealisme dikubur sedalam enam kaki, ribuan telinga dan batin terjengah. Tumpukan korban hegemoni budaya pop yang dibentuk dan dikuasai oleh para kaum pemilik modal. Kondisi marjinal seperti inilah yang melahirkan gerakan underground dan indie (independen –ed).
Dalam bisnis seperti sebuah perusahaan minimal harus meraih income yang sanggup meng-cover seluruh outcome termasuk gaji karyawannya. Kesejahteraan mereka bergantung kepada penjualan produk atau jasanya. Urusan “perut” Memang prioritas alias kebutuhan primer. Jadi harus ada paradigma baru yang progresif-revolusioner (anjrit bahasanya –ed) yang mampu mengakomodir aspirasi dan menguntungkan semua pihak (produsen dan konsumen). But it’s not easy as it seems.
Anyway, sebelum kita kebelet ingin menggapai impian tersebut, marilah kita tengok, perhatikan dan pelajarilah keadaan scene di Amerika dan Eropa. Meskipun pada dekade 80-an di sana mengalami “golden age”, yang juga sempat mempengaruhi Indonesia, setelah itu scene di sana tetap maju, stabil dan solid hingga kini. Trend apapun tidak akan berpengaruh untuk mencoba menindas. Tanpa bermaksud ingin muluk-muluk, band-band seperti Iron Maiden, Slayer, Slipknot setiap tahun tidak musti selalu masuk Top 40 Charts atau nominasi Grammy Awards untuk mendongkrak penjualan album, merchandise dan memiliki jutaan fans di seluruh dunia. Hal ini tidak lain adalah karena semua fasilitas pendukung tersedia secara memadai. Bejibunnya promotor event musik metal, venue metal, major/indie record label metal, radio program metal, majalah metal dan tayangan video klip dan konser metal yang wira-wiri di stasiun program MTV2 Headbanger’s Ball. Semuanya memiliki network yang sangat luas. Intinya, metal tidak perlu menjadi “top of the game” di dalam percaturan musik dunia, bisa hidup nyaman saja sudah lebih dari cukup.
Dalam banyak hal negara kita memang masih sangat jauh ketinggalan. Kondisi ekonomi, sosial dan politik yang kurang mendukung merupakan faktor pengaruh vital. Krisis multi-dimensional berkepanjangan yang tak jelas kapan berakhirnya ini semakin memperkokoh hukum rimba, dimana kejayaan hanya berpihak kepada uang, harta dan kuasa. Angka kemiskinan meningkat hampir seiring dengan angka kejahatan. Tirani masih susah ditumbangkan, gerilya yang positif harus terus dijalankan supaya bisa survive. Namun sebagai bagian dari “survival of the fittest”, janganlah kita lantas menjadi pesimis dan patah semangat meskipun masih banyak banget PR yang musti kita pikirkan dan kerjakan untuk menyiasatinya di tengah kondisi amburadul negara kita. Karena tanpa kondisi fasilitas pendukung atau fondasi yang kuat seperti di kedua benua tersebut, keadaan maju dan ideal scene metal Indonesia impian tidak akan pernah bisa terwujud apalagi everlasting. Utopia-kah? We hope not. 
Sumber : Crushing Magz

Konser 30 Tahun Kerajaan Rock Log Zhelebour


Tigapuluh tahun lalu—tepatnya 30 Agustus 1980—pemain drum Superkid, Jelly Tobing tersengat listrik dan tersungkur di panggung saat tampil bersama rekan sebandnya Deddy Dores dan Deddy Stanzah (kini almarhum) di Stadion Tambak Sari, Surabaya, Jawa Timur. Tigapuluh tahun juga telah berlalu sejak SAS menjadi headliner konser musik bertajuk Rock Power yang diselenggarakan untuk pertama kalinya oleh kaisar bisnis rock nasional, Log Zhelebour.

Ada yang membuat merinding menyaksikan secara langsung Arthur Kaunang, pemain bas/pemain keyboard SAS, menghidupkan kembali “Baby Rock” pada Minggu (3/10) malam lalu di tempat yang sama. Meski tanpa kehadiran pemain gitar Soenata Tanjung dan pemain dum Syech Abidin, Arthur yang malam itu dibantu oleh putranya Mecko Kaunang pada gitar dan Ikmal Tobing, putra Jelly Tobing pada drums, masih mampu membuat nomor legendaris SAS itu terasa kesakralannya. Apalagi ternyata di usianya yang 61 tahun Arthur belum lupa bagaimana cara melengkingkan suaranya. Sama halnya pula ketika Jelly Tobing—yang malam itu memegang bas—dan Deddy Dores membawakan lagu “Cemburu” dengan bersemangat.

Stadion Tambak Sari hari itu sekali lagi menjadi saksi bisu dari kesaktian salah satu gegar budaya yang dimiliki negeri ini namun kerap kali disalahpahami: Musik rock. Dari sedikit yang peduli, Log Zhelebour adalah salah satu pejuangnya. 3rd Decade Log For Rock—begitu pertunjukan musik hari itu ia namakan—selain sebagai perayaan dari tigapuluh tahun kiprahnya di industri musik rock Indonesia, sekaligus menjadi ajang pembuktian bahwa ia masih tetap setia di jalur ini.
Memulai kiprahnya dengan menjadi promotor malam disko di akhir dekade '70an, Log Zhelebour yang aslinya bernama Oeng Oen Log (51 tahun) adalah salah seorang dari sedikit saja pebisnis musik rock di tanahair. Selama 30 tahun berada di jalur musik keras ini kontribusi dan dedikasi Log tak pernah padam. Ia adalah tokoh dibalik kesuksesan lady rocker seperti Ita Purnamasari, Mel Shandy, Nicky Astria dan sebagainya. Bersama Festival Musik Rock Se-Indonesia yang telah digelar sebelas kali sejak 1984 ia sukses mengorbitkan Power Metal, Elpamas, Kaisar, Boomerang, Jamrud serta masih banyak lagi lainnya.
Kerajaan bisnis rocknya antara lain meliputi Logiss Records, Log Sound, Log Lightings, Log Artist Management hingga Log Show Promoter yang sempat menghadirkan konser Sepultura (1992), Mr. Big, White Lion hingga Skid Row di Surabaya. Tak berlebihan rasanya jika menyebut aktor intelektual dibalik julukan "Surabaya Barometer Kota Rock" adalah berkat peran besar Log Zhelebour. 
Minggu malam itu diperkirakan hampir sepuluh ribu orang datang ke Surabaya hanya untuk menyaksikan konser reuni nan bersejarah tersebut. Mereka yang datang sebagai rocker disambut spanduk besar yang membentang di depan pintu masuk: “Welcome Indonesian Rock People.” Di dalam stadion juga terdapat dua panggung megah berdiri berdampingan. Meski pada akhirnya dua panggung tersebut tidak pernah difungsikan secara bersamaan, melainkan bergantian, tapi efektif untuk menyunat waktu jeda membosankan yang biasanya setia hadir di konser-konser lainnya.

Stadion legendaris yang diresmikan Jendral Soeharto (Presiden RI saat itu) di tahun 1969 itu tidak tampak terlalu padat pada siang harinya. Padahal acara dimulai pukul satu siang dengan menampilkan band-band yang sebagian namanya sudah cukup dikenal baik di kalangan penggemar rock skala nasional, seperti: Endank Soekamti, Kalingga, Macan atau Kobe. Jumlah penonton baru bertambah signifikan ketika hari mulai gelap, bertepatan dengan tampilnya U9, salah satu alumnus Festival Rock Se-Indonesia yang gitarisnya adalah John Paul Ivan (eks-Boomerang) membawakan nomor legendaris God Bless, “Kehidupan”.

Gegap gempita semakin bertambah ketika Elpamas tampil di panggung kanan. Penampakan vokalis Doddy Katamsi dan gitaris Toto Tewel yang menyerupai angka sepuluh itu membuat mereka mudah dikenali. Elpamas membawakan lima lagu malam itu: “Jejak Jejak”, “Tato”, “Alamku”, “Brutal” dan tentu saja “Pak Tua”—single mereka dari tahun 1991 yang paling dikenal oleh penonton.

Usai menyaksikan Elpamas, sebagian penonton bergeser ke panggung kiri untuk menyaksikan Grass Rock. Pemain gitar Eddie Kemput masih ada di sana—meski ia terlihat cenderung menghindar dari spotlight sehingga membuat dirinya sulit dikenali. Membawakan beberapa lagu, termasuk “Anak Rembulan” dan “Gadis Tersesat” yang catchy, Grass Rock dengan vokalis baru tampaknya tidak terlalu berhasil untuk mengajak crowd bernostalgia.

Power Metal memperoleh antusiasme yang meriah. Rakyat rock Surabaya sepertinya memang selalu merindukan kemunculan band pemenang Festival Rock se-Indonesia V ciptaan Log Zhelebour ini. Sejak vokalis Arul Efansyah muncul ke muka panggung, ribuan penonton sudah terlihat mengangkat salam “tiga jari” dan “dua jari” mereka ke udara dengan garangnya. Power Metal tak ingin kalah garang dengan rakyatnya, mereka membuka penampilan dengan lagu “Serigala Malam” yang menghentak.
Panggung Power Metal sempat dipercantik oleh penampilan lady rocker legendaris Mel Shandy. Penyanyi perempuan dengan tipikal suara serak dan melengking ini diiringi Power Metal membawakan tiga lagu yang pernah melesatkan namanya: “Ulah Tuan & Nona”, “Bianglala”, dan “Nyanyian Badai”. Sebagai penutup, Arul kembali naik ke panggung. Bersama Mel Shandy ia berduet di lagu “Timur Tragedi”.

Setelah terlebih dahulu flashback ke era akhir ‘70an bersama Superkid dan SAS, barulah penonton dibakar lagi adrenalinnya oleh dua band dengan ribuan penggemar setianya: Jamrud dan Boomerang.

Jamrud, yang tampil lebih dulu di panggung kanan, ternyata tidak kehilangan pamor tanpa Krisyanto. Bersama vokalis baru Donal, Jamrud membuka penampilan dengan lagu “Ayam Jago” dari album perdana mereka Nekad. Tapi siapapun juga sepertinya bisa mendengar bahwa Donal belum bisa menemukan karakternya sendiri dalam menyanyikan lagu-lagu yang sudah terlalu identik dengan vokal Krisyanto.

“Album baru ini kan aku masih pakai lagu lama. Otomatis kupingku atau kuping Jammers (julukan fans Jamrud) tetap masih terbawa ke vokalis yang lama. Tapi nanti kalau kita mengeluarkan album baru, nah di situlah pembentukan dia. Jadi bagus atau tidak bagus, itulah suara dia. Jadi udah nggak ada bayangan-bayangan lagu lama. Sekarang kalau bawain lagu lama kayak ‘Putri’, ya mau tidak mau dia bikin seperti yang lama,” kata gitaris Aziz MS kepada Rolling Stone pada salah satu sesi wawancara.

“(Musik Jamrud) akan lebih metalcore. Lebih banyak scream, growl. Tapi tetap 'bernyanyi'. Hardcore-nya pun lebih dikencangin,” jawab Aziz ketika ditanya akan seperti apa musik Jamrud dengan karakter vokal Donal sebenarnya.

Untuk mengobati kerinduan penggemar Krisyanto, malam itu dihadirkan pula mantan vokalis Jamrud itu untuk jamming bersama Jamrud. Sukar dipungkiri, penyanyi yang kini berkarir solo itu masih memiliki kharisma yang kuat. Menyanyikan lagu-lagu seperti “Viva Jammer”, “Asal British”, “Tuan Penjahat”, “Selamat Ulang Tahun” dan “Terima Kasih”; Krisyanto membuktikan bahwa dirinya masih dicintai oleh pada Jammers yang hadir malam itu.

Sementara para Boomers yang sudah siap di depan panggung sebelah kiri seperti sudah tak sabar menyaksikan penampilan idolanya. Sejak sebelum penampilan Jamrud dan Krisyanto usai, terdengar suara mereka memanggil-manggil nama band kebanggaan Surabaya tersebut.

“Boomerang!”
“Boomerang!”
“Boomerang!”

Akhirnya tampil juga band yang digawangi oleh vokalis Roy Jeconiah, pemain bas Hubert Henry, pemain drum Farid Martin, dan pemain gitar Andry Franzzy itu. Mereka membawakan cukup banyak lagu malam itu. Di antaranya: “Suara Jalanan”, “Larantuka”, “Bawalah Aku”, dan “Pelangi”. Sempat terjadi anti-klimaks pada penampilan Boomerang. Penonton hingga meneriakkan secara berulangkali nama mantan gitaris Boomerang yang hengkang tahun 2005 silam.

Pada rundown acara memang tertulis bahwasa Boomerang malam itu akan tampil bersama John Paul Ivan. Tapi nyatanya, hingga Boomerang menutup penampilannya dan turun dari panggung, gitaris berambut keriwil itu tidak pernah muncul di atas sana.
“Penampilan bareng Ivan sebetulnya belum disepakati,” kata Roy Jeconiah kepada Rolling Stone seusai acara. “Kita juga tidak tahu kenapa di rundown masih ada pemberitahuan Boomerang featuring Ivan.”

Penampilan Boomerang menutup konser musik perayaan 30 dekade peran Log Zhelebour bagi perkembangan musik rock nasional. Di tengah vakumnya kompetisi musik rock ala Log, konser ini tak ayal menjadi semacam oase di tengah tandusnya gurun pasir bagi pecinta musik rock di Surabaya. Lalu akankah Festival Rock Se-Indonesia versi Log Zhelebour yang dulu membuat Surabaya sampai dijuluki Kota Rock digelar kembali?

“Mungkin tahun depanlah. Sebetulnya acara ini untuk memberikan spirit kepada kru-kru yang sudah lama tidak aktif. Supaya mereka ada spirit lagi untuk bekerja,” pungkas Log Zhelebour.
Sumber : Rolling Stone Magz

Kisah di Balik Kesuksesan Tur Konser Death Vomit di Australia



Death Vomit, pionir deathmetal Yogyakarta melakukan tur luar negeri pertama sekaligus merilis ulang albumnya di negeri Kangguru belum lama ini. Ditemui di studionya di kawasan utara Yogyakarta, Death Vomit menceritakan bagaimana tur Australia membuat mereka seperti belajar bermusik dari nol lagi. Tur ini berawal dari percakapan sederhana dengan Xenophobic Records, sebuah label dan distributor khusus musik metal asal Australia via MySpace.
Oki, bassist, menjelaskan, “Awalnya Xenophobic tertarik untuk merilis ulang album The Prophecy yang kami rilis 2006 lalu, enggak nyangka juga ternyata selain album kami dirilis ulang, Agustus lalu kami juga diundang untuk tur ke lima kota disana plus membuka konser Dying Fetus dan Napalm Death.” Roy (drum) menambahkan kalau Death Vomit saat itu begitu antusias karena ini adalah kesempatan tur ke luar negeri pertama setelah malang melintang selama lima belas tahun di scene metal nasional.
Tur Australia Death Vomit diawali dengan pementasan pada 1 September 2010 di kota Perth. “Kita pertama main jadi band pembuka Dying Fetus dan Napalm Death di Perth, bener-bener keren crowd-nya,” ujar Roy. “Perth itu mungkin seperti Bandung  kalau di Indonesia, scene mereka kuat banget, mereka punya yang namanya Perth City Death Metal, semacam komunitas metal yang kuat, makanya crowd mereka juga keren,” tambah Roy. Penampilan perdana ini juga membuat publik Australia kaget Indonesia memiliki band death metal seperti Death Vomit.
Menurut Sofyan (gitar, vokal) sebelum penampilan mereka di Perth, metalheads di Australia hanya mengenal nama Death Vomit tanpa tahu musiknya. “Dari Perth itulah mereka baru tahu ini yang namanya Death Vomit, sebelum-sebelumnya mereka paling tahu namanya aja,” tutur Sofyan. Bagi mereka konser di Perth selain sebagai pembuka tur juga sebagai ajang perdana memperkenalkan musiknya pada scene metal Australia.
Setelah Perth mereka kemudian pentas di Civic Hotel di kota kecil Inglewood yang berada di Negara Bagian Barat Australia pada 4 September lalu. “Inglewood ini tidak beda jauh sama Perth, scene metal Australia itu kuatnya memang di negara bagian barat mereka, selain itu di tiap kota kan kita main sama band lokal metal mereka, nah disini band metalnya bagus-bagus, ada Grostique, Nails of Imposition sama Khariot juga,” jelas Roy.
Setelah Inglewood mereka kemudian melanjutkan turnya berturut-turut ke kota Geelong (9/9), Melbourne (10/9), Sydney (11/9) dan terakhir Brisbane pada 15 September lalu. Kesempatan bermain di enam kota di Autralia itu dimanfaatkan Death Vomit untuk mempromosikan rilis ulang album mereka di Australia sekaligus memperkenalkan lagu-lagu mereka di album baru yang akan dirilis Januari 2011. “Biasanya satu kota kita main sepuluh lagu, kita ambil setengahnya dari album lama yang dirilis ulang, setengahnya dari materi album baru,” ungkap Roy.
Death Vomit sendiri secara keseluruhan merasakan betul perbedaan besar antara konser di luar dengan di dalam negeri. “Kalau dilihat dari yang nonton, crowd disana tuh kecil, waktu main bareng Dying Fetus dan  Napalm Death paling cuma ada 300-an orang. Tapi yang gila crowd sana itu bener-bener memperhatikan, di lagu pertama mereka diam aja, kaya melototin yang main, kalau mainnya emang jelek, ya sudah mereka nggak bakal gubris di lagu-lagu berikutnya,” ujar Oki.
“Ibaratnya kalau kami main jelek di lagu pertama, langsung habis. Penontonnya sedikit tapi tegangnya sama kaya ditonton ribuan orang,” celoteh Roy yang disambut tawa Oki dan Sofyan.
Sementara Sofyan mengaku banyak belajar dari hal yang lebih teknis. “Disana yang bagus itu pemain bandnya tahu betul alatnya, mereka bawa sendiri, panggung bener-bener kosong sebelum ada yang main, jadi band metal sana bener-bener prepare dengan apa yang bakal mereka mainin.” Menurut mereka selain sebagai ajang promosi, konser enam kota di Australia tersebut membuat mereka belajar banyak hal yang sebelumnya tak pernah mereka sangka.
Keberhasilan Death Vomit melakukan tur Australia membuat pihak Xenophobic berencana mengundang mereka kembali tahun depan. “Ya rencananya sekalian promosi album baru yang dirilis Januari tahun depan, pasti tahun depan bakal lebih matang lah persiapannya, udah belajar dari tur kemarin,” ungkap Roy berjanji.
Selesai dengan tur di Australia tak membuat band yang telah menelurkan dua album ini bersantai-santai. Mereka kini langsung menyibukkan diri dengan rekaman album baru yang akan dirilis tahun depan. Sofyan, Oki dan Roy berharap dengan menjalin kerjasama bersama Xenophobic musik mereka bisa diterima metalhead Australia. “Sebelum kami publik Australia hanya tahu Burgerkill karena distribusi mereka sampai sana, kami juga ingin musik death metal Indonesia bisa diterima masyarakat internasional,” pungkas Roy.

Sumber : Rolling Stone Magz

Minggu, 10 Oktober 2010

Lamb Of God - Wrath (2009)

Artist - Lamb Of God
Album - Wrath
Year - 2009
Genre - Metalcore
Web - http://www.myspace.com/lambofgod
Country - Richmond, Virginia, USA

Tracklist:
1. The Passing
2. In Your Words
3. Set To Fail
4. Contractor
5. Fake Messiah
6. Grace
7. Broken Hands
8. Dead Seeds
9. Everything To Nothing
10. Choke Sermon
11. Reclamation

Sabtu, 09 Oktober 2010

As I Lay Dying - The Powerless Rise (2010)


Artist - As I Lay Dying
Album - The Powerless Rise
Year - 2010
Genre - Metalcore
Web - http://www.myspace.com/asilaydying
Country - San Diego, California, USA

Tracklist:
1. Beyond Our Suffering
2. Anodyne Sea
3. Without Conclusion
4. Parallels
5. The Plague
6. Anger and Apathy
7. Condemned
8. Upside Down Kingdom
9. Vacancy
10. The Only Constant Is Change
11. The Blinding of False Light

Decrepit Birth - Polarity (2010)






Artist - Decrepit Birth
Album - Polarity
Year - 2010
Genre - Technical Brutal Death Metal
Web - http://www.myspace.com/decrepitbirth
Country - Santa Cruz, California, USA
Tracklist:
1. (A Departure Of The Sun) Ignite The Tesla Coil
2. Metatron
3. The Resonance
4. Polarity
5. Solar Impulse
6. Mirroring Dimensions
7. A Brief Odyssey In Time
8. The Quickening Of Time
9. Sea Of Memories
10. Symbiosis
11. Darkness Embrace

Arsis - Starve for the Devil (2010)


Artist - Arsis
Album - Starve for the Devil
Year - 2010
Genre - Technical Melodic Death Metal
Web - http://www.myspace.com/arsis
Country - Virginia Beach, USA

Tracklist:
1. Forced to Rock
2. A March for the Sick
3. From Soulless to Shattered (Art in Dying)
4. Beyond Forlorn
5. The Ten of Swords
6. Closer to Cold
7. Sick Perfection
8. Half Past Corpse O'Clock
9. Escape Artist
10. Sable Rising
Password : tld

Severed Savior - Servile Insurrection (2008)


Artist - Severed Savior
Album - Servile Insurrection
Year - 2008
Genre - Technical Brutal Death Metal
Web - http://www.myspace.com/saveredsavior
Country - South San Francisco CA, Usa

Tracklist:
1. Question
2. Inverted and Inserted
3. Rewards of Cruelty
4. Fuck the Humans
5. Hemorrhagic Gastroenteritis
6. Intervallo del Tradimento
7. Acts of Sedition
8. Fecalpheliac
9. Spoils of War
10. Deadspeak
11. Servile Insurrection


Hatebreed Live In Jakarta

METAL UNTUK SEMUA (Konser Pro-Pluralisme & Anti-Terorisme)

Jakarta, 17 Oktober bertempat di Bulungan Outdoor, kalau tidak ada halangan akan diselenggarakan Konser Metal Untuk Semua dimana acara ini merupakan konser kolektif yang bertujuan mengkampanyekan perdamaian, menghargai perbedaan dan toleransi antar umat beragama. Adapun sasaran dari kampanye ini adalah anak-anak muda penggemar musik metal yang ada di Jakarta dan seluruh Indonesia pada umumnya. Band yang tampil di konser Metal Untuk Semua adalah; ROXX, SIKSAKUBUR, DEADSQUAD, SERINGAI, PROSATANICA, FUNERAL INCEPTION, DREAMER, GELAP, RITUAL DOOM, PANIC DISORDER, TRAUMA, RAJASINGA, DEATH VALLEY, LATEMNIKUFESIN, ORACLE, GIGANTOR. Menurut informasi yang kami terima, dimana seluruh band yang tampil dalam acara tersebut bermain secara cuma-cuma dan bahkan sebagiannya menjadi panitia pelaksana acara yang bertujuan untuk menyebarluaskan pesan kepada khalayak bahwa publik musik keras anti terhadap tindak kekerasan dan terbiasa menghargai perbedaan agama, suku maupun ras. Komunitas Metal Untuk Semua adalah gerakan musik metal independen yang terbuka untuk semua golongan, suku, agama, ras, genre musik dan pilihan keyakinan pribadi masing-masing serta menolak segala bentuk kekerasan dan terorisme.

Dapurletter.com